Cerpen yang di tulis oleh Gipi, untuk mengenang masa lalu yang kini tinggal kenangan. Masa lalu tak terlupakan, kehangatan keluarga, suara tawa dan duka.
Di sebuah desa kecil, hidup seorang remaja bernama Arga. Dia tinggal bersama kakeknya, Pak Wiryo, yang sudah tua namun penuh kebijaksanaan. Desa itu dikelilingi sawah hijau dan bukit-bukit yang menjulang tenang. Setiap pagi, Arga selalu duduk di atas bukit, memandang langit dan mendengarkan bisikan angin.
“Langit selalu berubah, Nak,” kata kakeknya suatu hari. “Tapi, meski awannya berbeda, langit itu selalu sama.”
Arga tak mengerti apa yang kakeknya maksud. Baginya, hidup di desa ini begitu membosankan. Setiap hari terasa sama. Ia ingin sesuatu yang lebih, sesuatu yang gemerlap seperti kota besar yang hanya ia lihat dari cerita-cerita orang yang datang berkunjung. Namun, keinginannya selalu berbentur pada kenyataan bahwa kakeknya terlalu tua untuk pergi meninggalkan desa ini.
Suatu sore, Arga memberanikan diri bertanya, “Kek, kenapa kakek tidak pernah ingin pergi dari desa ini? Apa tidak pernah ada rasa bosan?”
Pak Wiryo tersenyum tipis, tatapannya mengarah ke sawah yang terhampar luas di depan rumah mereka. “Bosan, pasti. Tapi bukan tempatnya yang membuat kita ingin pergi, Arg. Kadang kita lupa melihat apa yang ada di depan mata karena terlalu sibuk mencari apa yang jauh di sana.”
Arga hanya terdiam. Jawaban itu tidak cukup menjawab rasa gelisahnya.
Suatu hari, datang kabar bahwa kota besar sedang mengadakan festival seni. Arga sangat ingin pergi, tapi tidak mungkin meninggalkan kakeknya sendirian. Dalam hatinya, ia merasa terbelah. Ia merindukan suasana yang berbeda, namun juga tidak tega meninggalkan orang yang telah merawatnya sejak kecil.
“Kek, festival itu hanya beberapa hari. Aku janji akan segera kembali,” pinta Arga dengan hati-hati.
Pak Wiryo hanya memandangnya dengan mata yang sayu. "Pergilah, Nak. Lihatlah dunia yang kau impikan. Tapi ingat, langit di mana pun tetaplah sama. Jangan sampai kau lupa itu."
Arga tersenyum lega. Esoknya, ia pun berangkat ke kota besar dengan penuh antusias. Saat tiba, dunia yang ia bayangkan benar-benar ada di depan mata. Lampu-lampu kota bersinar gemerlap, festival penuh warna, dan orang-orang berpakaian indah berjalan berlalu-lalang. Arga merasa seolah berada di dunia yang benar-benar berbeda. Ia larut dalam kemeriahan, lupa akan waktu.
Namun, semakin lama ia berada di sana, ada sesuatu yang terasa hilang. Malam di kota itu terasa kosong, tidak seperti malam di desanya yang selalu diiringi suara jangkrik dan angin lembut dari bukit. Di sini, suara bising kendaraan dan hiruk pikuk kota terasa terlalu asing. Saat menatap langit malam, Arga tak menemukan bintang-bintang seperti di desanya. Langit kota tampak kelabu, tertutup polusi.
Arga pun mulai merindukan desanya. Ia teringat kata-kata kakeknya tentang langit. Di mana pun dia berada, langit tetap sama, tapi persepsi kitalah yang berubah. Yang Arga rindukan bukan hanya bintang-bintang atau suara alam, tapi kedamaian yang datang dari hal-hal sederhana yang sering ia abaikan.
Tiga hari berlalu, dan Arga kembali ke desanya. Setibanya di rumah, ia menemukan kakeknya duduk di serambi, memandang sawah. Tanpa berkata apa-apa, Arga duduk di sebelahnya. Mereka berdua diam, hanya ditemani suara angin yang bertiup lembut.
“Bagaimana kota itu?” tanya Pak Wiryo, suaranya pelan namun penuh perhatian.
“Indah, Kek. Tapi...” Arga terdiam sejenak, “aku merasa lebih nyaman di sini.”
Pak Wiryo tersenyum bijak. “Dunia di luar sana memang indah, Nak. Tapi tempat yang paling kita rindukan sering kali adalah tempat di mana kita merasa paling damai.”
Malam itu, Arga kembali duduk di bukit kesayangannya. Langit di atasnya penuh dengan bintang-bintang. Di sinilah ia merasa tenang, di bawah langit yang selama ini ia pikir hanya membosankan. Kini, ia menyadari bahwa yang membuat suatu tempat istimewa bukanlah gemerlapnya, tapi bagaimana tempat itu mengisi hatinya dengan kedamaian.
Di akhir malam, Arga melihat jauh ke cakrawala dan tersenyum. Dunia memang luas, tapi ia tahu, rumah bukanlah tempat yang harus selalu ditinggalkan untuk mencari kebahagiaan. Terkadang, kebahagiaan sudah ada di depan mata, menunggu untuk dilihat dengan cara yang baru.
Makna
Cerpen ini menyiratkan tentang pencarian makna kebahagiaan yang sering kali terasa jauh, padahal sebenarnya ada di dekat kita. Arga, sebagai remaja yang haus akan pengalaman baru, mencerminkan banyak dari kita yang sering kali merasa bahwa sesuatu yang lebih baik ada di luar sana. Namun, dalam perjalanannya, dia menemukan bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya soal tempat, tapi tentang bagaimana kita melihat dan merasakannya. Makna tersuratnya mengajarkan kita untuk lebih menghargai apa yang kita miliki, sementara makna tersiratnya mengajak pembaca untuk merenungkan bahwa kedamaian batin datang dari penerimaan dan penghargaan terhadap hal-hal sederhana dalam hidup.